Laptop, News, PC, Tekno & Gadget

Riset Dell: Perusahaan Melihat Karyawan Sebagai Aset Terbesar untuk Melaksanakan Proyek Transformasi Digital

Survei terbaru dari Dell Technologies menunjukkan bahwa setelah dua tahun percepatan transformasi  digital, lebih dari setengah (55%) pemimpin TI di Indonesia (APJ: 45%; Global: 50%) menyatakan  perusahaan mereka tahu apa yang harus dilakukan untuk melakukan transformasi tenaga kerja secara  digital. Tapi ternyata setelah perubahan yang sangat cepat tersebut, banyak karyawan kini sulit  mengikuti ritme cepat tersebut. Bahkan, lebih dari dua pertiga dari 10,500 responden dari 40+ negara  menyatakan perusahaan mereka telah meremehkan strategi berinteraksi yang baik dengan karyawan saat merencanakan program-program transformasi. 

Hasil survei menjabarkan bagaimana transformasi cepat yang terjadi baru-baru ini membuat  perusahaan dan tenaga kerja mereka membutuhkan waktu untuk beristirahat, berpikir dan  menyempurnakan strategi sebelum memulai atau mengulang proyek. Meski berbagai upaya dan  kemajuan besar telah diraih dalam beberapa tahun terakhir, hasil survei menunjukkan transformasi  digital masih berpotensi untuk berhenti karena 85% responden Indonesia (APJ: 72%; Global: 64%)  meyakini keengganan karyawan untuk berubah dapat menyebabkan kegagalan. 

Lebih dari setengah responden Indonesia (57%) khawatir mereka akan ketinggalan perkembangan  dunia digital karena kurangnya pimpinan yang memiliki otoritas atau visi yang tepat untuk  memanfaatkan kesempatan tersebut, khususnya ketika model as-a-Service menjadi pilihan yang  menguntungkan bagi banyak perusahaan (APJ: 62%; Global: 53%). 

“Untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi semua pihak, kita harus menyadari ada  keterikatan erat antara kesuksesan perusahaan dan kesejahteraan karyawan. Riset terbaru Dell  menunjukkan bahwa transformasi digital yang berkelanjutan terjadi di persimpangan antara teknologi  dan manusia. Untuk mencapai terobosan yang efektif, perusahaan perlu mempertimbangkan tiga 

pendekatan. Pertama, menyediakan pengalaman bekerja yang konsisten dan aman, yang tidak  ditentukan oleh tempat karyawan mereka bekerja. Kedua, membantu mendorong produktivitas dengan  meningkatkan kemampuan karyawan menggunakan perangkat teknologi yang memungkinkan mereka  untuk lebih fokus pada kemampuan terbaik mereka. Terakhir, menginspirasi karyawan melalui budaya

empati dan kepemimpinan yang otentik,” ujar Amit Midha, president, Asia Pasifik dan Jepang, dan  Global Digital Cities, Dell Technologies. 

“Sebagian besar organisasi di seluruh dunia – termasuk Indonesia – menyadari kebutuhan akan  transformasi digital, tapi mereka mendapati transformasi digital bukan hal yang mudah, dan karyawan  mereka tidak selalu bisa menerima perubahan. Gesekan antara manusia dan teknologi tersebut diperparah oleh pandemi, dan hasilnya banyak perusahaan yang tangguh secara digital, tapi sebagian  besar karyawan mereka kelelahan,” kata Hendra Lesmana, country general manager, Indonesia, Dell  Technologies. “Saat ini, perusahaan yang ingin meraih sukses yang berkelanjutan harus benar-benar  berpikir bagaimana caranya mereka bisa dengan hati-hati dan terarah membantu karyawan mereka  menghadapi perubahan-perubahan yang lebih lanjut.”  

Sekarang saatnya bagi perusahaan untuk berpikir sebelum memulai proyek transformasi digital baru,  memastikan dukungan terhadap tenaga kerja mereka, dan memiliki strategi yang jelas untuk tahap  implementasi berikutnya.  

Tolak ukur kesiapan perubahan digital 

Dell dan pakar perilaku independen mempelajari seberapa besar ketertarikan responden akan  perubahan digital dan mendapati hanya 16% tenaga kerja Indonesia – dari pemimpin bisnis senior  hingga pengambil keputusan TI dan staf – tertarik untuk melakukan proyek-proyek modernisasi (APJ:  7%; Global: 10%). Sementara, 24% responden Indonesia lambat atau enggan menerima perubahan 

(APJ: 46%; Global: 42%). 

Kelompok tenaga kerja global saat ini: 

Tolak ukur terobosan
Sprint (lari cepat): Mengejar inovasi dan pelopor perubahan  teknologi.Indonesia: 16%; APJ:7%; Global: 10%; 
Steady (stabil): Siap mengadopsi perubahan teknologi yang  ditentukan oleh orang lain. Indonesia: 60%; APJ: 41%;  Global: 43%
Slow (pelan): Cenderung menahan diri dan mengamati /  hati-hati.Indonesia: 24%; APJ: 46%;  Global: 42%
Still (jalan di tempat): Cenderung mengantisipasi masalah  dan menolak usulan inovasi teknologi berdasarkan  pertimbangan risiko.Indonesia: 1%; APJ: 6%; Global: 5% 

 

Survei ini mencoba untuk memetakan jalan ke depan dengan menunjukkan peluang-peluang yang bisa  diambil perusahaan untuk fokus dan mengikuti alur transformasi, dengan terobosan yang terjadi di  persimpangan antara manusia dan teknologi di tiga bidang: 

  1. Konektivitas 

Selama pandemi, banyak perusahaan berhasil terhubung, berkolaborasi, dan melakukan bisnis secara  daring (online). Tapi mereka tidak berhenti.  

Sekitar 76% responden Indonesia (APJ: 78%; Global: 72%) mengatakan mereka ingin perusahaan  mereka menyediakan perangkat dan infrastruktur yang diperlukan untuk bisa bekerja dari mana saja (work from anywhere), serta kebebasan untuk memilih pola kerja yang mereka inginkan. Bahkan ternyata pemimpin perusahaan khawatir karyawan mereka akan tertinggal karena tidak memiliki 

teknologi yang tepat untuk beralih ke model kerja yang sangat terdistribusi (di mana kerja dan  komputasi tidak terikat di suatu tempat tertentu, tapi bisa terjadi di mana saja). 

Teknologi saja tidak cukup. Perusahaan juga perlu memastikan alokasi pekerjaan yang adil bagi setiap  karyawan yang memiliki kebutuhan, minat, dan tanggung jawab yang berbeda-beda. 72% pekerja  Indonesia (APJ: 78; Global: 76%) ingin perusahaan mereka melakukan salah satu hal berikut: 

  • Definisi yang jelas akan komitmen perusahaan tentang pengaturan kerja yang fleksibel dan  cara-cara praktis untuk memastikan hal tersebut bisa terjadi – Indonesia: 42% (APJ: 46%;  Global: 40%) 
  • Mempersiapkan pemimpin untuk bisa secara efektif dan adil mengelola tim yang bekerja  remote – Indonesia: 36% (APJ: 42%; Global: 42%) 
  • Memberdayakan karyawan untuk memilih pola kerja yang diinginkan dan menyediakan  perangkat/infrastruktur yang diperlukan – Indonesia: 45% (APJ: 47%; Global: 44%) 
  1. Produktivitas 

Waktu seseorang terbatas dan saat ini sangat minim kandidat yang memenuhi kualifikasi lowongan  pekerjaan. Untuk mengatasi keterbatasan tersebut, perusahaan dapat mendelegasikan tugas repetitif ke proses otomatis dan memberi peluang waktu lebih besar bagi karyawan untuk fokus pada pekerjaan  yang lebih penting dan memiliki nilai tambah yang lebih besar. 

Saat ini, hanya 21% responden Indonesia (APJ: 32%; Global: 37%) menyatakan pekerjaan mereka  tidak repetitif. Dengan peluang untuk mengotomatisasi pekerjaan repetitif, mayoritas responden  Indonesia (77%) ingin bisa mempelajari berbagai keterampilan dan teknologi baru yang banyak dicari,  seperti keterampilan kepemimpinan, kursus machine learning, atau fokus pada peluang-peluang yang  lebih strategis untuk meningkatkan posisi mereka (APJ: 74%; Global; 69%). 

Tapi, perusahaan dengan anggaran terbatas khawatir mereka tidak bisa bersaing dan meningkatkan  kemampuan tenaga kerja mereka. 

  1. Empati 

Pada intinya, perusahaan perlu membangun sebuah budaya yang dilaksanakan oleh para pemimpin  yang berempati, yang menghargai karyawan sebagai sumber kreativitas dan aset terbesar perusahaan.  

Hasil riset menunjukkan masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut  dan mengedepankan empati dalam pengambilan keputusan, mulai dari menyederhanakan teknologi  karena 63% responden Indonesia merasa kewalahan dengan teknologi yang kompleks (APJ: 52%;  Global: 49%), hingga merancang program perubahan yang sesuai dengan keterampilan individu – 61%  karyawan Indonesia percaya pemimpin mereka telah melakukan hal ini (APJ: 50%; Global: 41%).  

Informasi lengkap riset Breakthrough ini dapat diakses di sini

Metodologi Penelitian: 

Riset dilakukan oleh perusahaan riset Vanson Bourne dari bulan Agustus hingga Oktober 2021 di lebih  dari 40 negara di seluruh dunia. 

Basis responden: Survei Dell Technologies ini mewawancarai 10.500 pembuat keputusan bisnis,  pembuat keputusan TI dan knowledge worker (karyawan yang terlibat dalam transformasi digital) di  lebih dari 40 negara. Di Asia Pasifik & Jepang (APJ), survei ini melibatkan 2.900 responden di 11 lokasi,  meliputi Australia, India, Indonesia, Jepang, Malaysia, Selandia Baru, Filipina, Singapura, Korea  Selatan, Thailand, dan Vietnam. Di Indonesia, survei ini mewawancarai 200 responden. 

Sumber informasi tambahan